Senin, 29 September 2008

Sistem Informasi untuk Keamanan Pangan : belajar dari kasus formalin

Sistem Informasi untuk Keamanan Pangan :

belajar dari kasus formalin

Seminar Nasional

Dalam Rangka Dies Natalis Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Ke-60 dan Dies Natalis Rumah Sakit Dr. Sardjito Ke-24

ABSTRAK

Keamanan pangan merupakan isu strategis dalam mendukung tercapainya pembangunan sumberdaya manusia Indonesia. Pemerintah menyadari jaminan keamanan pangan yang baik akan menentukan derajad kesehatan masyarakat yang merupakan unsur penting dalam mencapai keberhasilan pembangunan. Badan POM sebagai lembaga yang bertanggung jawab terhadap pengawasan obat dan makanan telah mencanangkan penerapan Sistem Keamanan Pangan Terpadu (SKPT) di Indonesia sejak tahun 2004. Sistem Keamanan Pangan Terpadu merupakan program nasional yang melibatkan semua stakeholder kunci yang terlibat dalam keamanan pangan yakni pemerintah, industri, kunsumen mulai dari bahan baku pangan sampai pangan siap disajikan. Banyaknya stakeholder yang terlibat dalam SKPT memerlukan pengembangan sistem informasi nasional yang terintegrasi yang mampu mengolah sumber data dari masing-masing jejaring yang terkait dalam SKPT menjadi sumber informasi yang valid dan representatif sehingga dapat dijadikan dasar dalam proses pengambilan kebijakan di semua jenjang. Kelemahan sistem informasi dalam SKPT akan menyebabkan kebijakan yang diambil tidak valid dan menimbulkan permasalahan diantara stakeholder. Belajar dari kasus formalin, pembentukan Sistem Informasi Keamanan Pangan Terpadu (SIKPT) di Indonesia sangat penting untuk mewujudkan SKPT.

Keywords : Sistem Keamanan Pangan Terpadu – sistem informasi – Badan POM- formalin.

PENDAHULUAN

Food and Agriculture Organization/World Health Organization (FAO/WHO) dalam International Conference on Nutrition pada tahun 1992 mendeklarasikan bahwa memperoleh pangan yang cukup, bergizi dan aman dikonsumsi adalah hak setiap orang. Pemerintah Indonesia sendiri sangat memperhatikan terhadap masalah keamanan pangan yang menjadi hak bagi warganya. Hal ini terbukti dengan diberlakukannya undang-undang tentang Pangan yaitu Undang-Undang Nomor 7 tahun 1996 yang selanjutnya dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan. Pemerintah menyadari kondisi pangan yang aman, bermutu dan bergizi sangat penting peranannya dalam pertumbuhan, pemeliharaan dan peningkatan derajad kesehatan serta kecerdasan masyarakat. Kondisi keamanan pangan yang baik akan menghasilkan derajad kesehatan yang lebih baik, menurunkan risiko munculnya penyakit akibat pangan (foodborne disease) serta menurunkan biaya yang dikeluarkan untuk mengatasi penyakit yang muncul tersebut. Dari sisi ekonomi kondisi keamanan pangan yang baik dan sesuai dengan standar mutu internasional yang dipersyaratkan akan meningkatkan daya saing produk pangan dalam era pasar global.

Namun demikian, oleh karena keamanan pangan bukan merupakan tanggung jawab pemerintah semata tetapi merupakan tanggung jawab bersama yang melibatkan berbagai stakeholder lain yakni konsumen dan industri/pedagangan yang perhatiannya masih belum optimal terhadap keamanan pangan, maka kondisi keamanan pangan di negara-negara berkembang umumnya khususnya di Indonesia masih cukup memprihatinkan. Munculnya kasus formalin sebagai pengawet dalam beberapa produk pangan yang seharusnya tidak diperbolehkan merupakan bukti bahwa tidak semua stakeholder khususnya industri pangan menyadari tentang pentingnya peran dan tanggung jawab bersama dalam menyediakan keamanan pangan. Sementara disisi lain tampak belum adanya satu pandangan dalam penanganan kasus formalin oleh lembaga pemerintah terkait. Hal ini karena kemungkinan belum adanya sistem informasi terutama tentang keamanan pangan yang terintegrasi antar lembaga pemerintah tersebut.

Beberapa masalah dan kendala masih dijumpai dalam mewujudkan sistem keamanan pangan yang baik dan terpadu secara nasional. Beberapa masalah yang ada saat ini misalnya 1) infrastruktur yang belum mantap; 2) tingkat pendidikan produsen dan konsumen yang masih rendah; 3) sistem informasi keamanan pangan yang belum establis yang integratif . Sistem informasi keamanan pangan merupakan salah satu komponen yang berperan penting dalam mewujudkan sistem keamanan pangan nasional yang baik. Sistem informasi keamanan pangan yang mantap bermanfaat untuk keperluan monitoring, evaluasi, pengambilan keputusan, perecanaan sumber daya, akuntabilitas dan audit sistem keamanan pangan. Makalah ini mencoba membahas kepentingan sistem informasi keamanan pangan dalam mewujudkan keamanan pangan yang baik. Namun sebelumnya akan dibahas kepentingan keamanan pangan nasional, peran Badan POM dalam pengawasan penggunaan bahan berbahaya dalam produk pangan, secara lebih spesifik akan dibahas mengenai penggunaan formalin sebagai pengawet makanan.


PEMBAHASAN

Kepentingan Keamanan Pangan dan Penerapannya

Pangan merupakan kebutuhan dasar terpenting dan esensial dalam kehidupan manusia. Keamanan pangan merupakan isu strategis dalam mendukung tercapainya pembangunan sumber daya manusia suatu bangsa di dunia. Jaminan akan keamanan pangan yang dikonsumsi oleh masyarakat akan menentukan derajad kesehatan masyarakat. Keamanan pangan yang baik akan memberikan jaminan terhadap nilai gizi, kesehatan pangan yang dikonsumsi oleh masyarakat. Keamanan pangan yang baik juga akan menurunkan risiko terjadinya penyakit akibat pangan (foodborne diseases) sehingga akan menurunkan anggaran yang dikeluarkan untuk menanggulangi dampak penyakit yang ditimbulkan tersebut. Dalam era pasa bebas, jaminan keamanan pangan yang baik akan meningkatkan daya saing produk-produk pangan yang dihasilkan oleh suatu negara di tingkat internasional.

Meskipun disadari bahwa keamanan pangan merupakan isu strategis dalam menentukan keberhasilan pembangunan, namun mewujudkan sistem keamanan pangan terpadu secara nasional bukan merupakan pekerjaan yang ringan. Keamanan pangan ditentukan oleh proses sejak bahan mentah sampai ke produk jadi yang siap dikonsumsi. Untuk memberikan jaminan keamanan pangan dengan demikian diperlukan pengendalian di setiap proses pada rantai penanganan dan pengolahan pangan mulai dari kebun, proses pengolahan, penggudangan, penyimpanan, distribusi, pemasaran hingga konsusmi oleh konsumen (from farm to table approach). Oleh karena terwujudnya keamanan pangan yang baik dipengaruhi oleh proses yang dilalui setiap mata rantai produksi pangan, maka terwujudnya keamanan pangan yang baik merupakan tanggung jawab bersama dari setiap stakeholder baik dari pemerintah, industri maupun konsumen. Masing-masing stakeholder mempunyai peran penting dalam mewujudkan sistem keamanan pangan yang baik. Pemerintah mempunyai peran dalam perumusan kebijakan dalam pengawasan makanan, penetapan sistem informasi dan peyediaan fasilitas penelitian, pendidikan konsumen dan pembinaan industri, standarisasi dan lain sebagainya. Industri berperan dalam penetapan informasi produk dan pendidikan konsumen, pelatihan kepada karyawan, pelaksanaan teknologi proses dan produksi yang sesauai, jaminan kualitas dan kontrol selama proses, pelaksanaan distribusi yang baik dan lain sebagainya. Konsumen berperan dalam penyediaan keamanan pangan di rumah tangga, pemilihan makanan yang baik, meningkatkan pendidikan dan pengetahuannya.

Pemerintah menyadari pentingnya jaminan keamanan pangan nasional yang baik dan telah berusaha untuk mewujudkan suatu sistem keamanan pangan yang baik. Hal ini terbukti dengan diberlakukannya undang-undang tentang Pangan yaitu Undang-Undang Nomor 7 tahun 1996 yang selanjutnya dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan, dan masih banyak perauran perundang-undangan yang berkaitan dengan usaha untuk mewujudkan sistem keamanan pangan yang baik. Namun demikian harus diakui bahwa kondisi keamanan pangan di Indonesia masih memprihatinkan. Hal ini dikarenakan penerapan sistem keamanan pangan yang baik masih banyak menghadapi berbagai masalah baik dalam hal kebijakan, kelembagaan, perundang-undangan, sumber daya manusia dan fasilitas. Beberapa kasus yang menunjukkan masih lemahnya sistem keamanan pangan nasional misalnya :

1. Meningkatnya intensitas dan frekuensi laporan keracunan dan kasus-kasus food born disease, sementara data keracunan yang merupakan salah satu indikator tingkat keamanan pangan masih terbatas. Keterbatasan informasi mengenai masalah keamanan pangan yang memadai umumnya atau data keracunan khsususnya menyebabkan pemerintah kesulitan menangani masalah keracunan pangan. Kenyataan ini yang menjadi peritimbangan Badan POM membentuk direktorat yang khusus menangani surveilan keamanan pangan pada tahun 2001.

2. Penolakan eksport produk pangan Indonesia karena tidak memenuhi persyaratan keamanan pangan yang baik sesuai dengan standard internasional yang telah ditetapkan. Dalam pasar global, persaingan perdagangan produk pangan sangan ketat ditandai dengan ketentuan-ketentuan dan persyaratan masuk yang dikenakan oleh berbagai pasar tujuan ekspor. Berbagai produk pangan Indonesia saat ini banyak menghadapi ancaman dan aksi penolakan yang terkaiat dengan aspek mutu dan keamanan pangan untuk dikonsumsi. Untuk memperbaikai keamanan dan meningkatkan produk pangan Indonesia Badan POM bekerjasama dengan Badan Standarisasi Nasional (BSN) sejak tahun 2002 untuk melakukan penelitian terkait dengan standar keamanan pangan dan penerapannya terhadap produk pangan yang melakukan ekspor atau yang berpotensi ekspor.

3. Sementara produk pangan Indonesia ditolak di pasar global, banyak produk pangan luar membajirnya pasar Indonesia tanpa ada jaminan standar mutu dan keamanannya. Hal ini menunjukkan masih lemahnya sistem pengawasan dan aturan-aturan terkait terhadap masuknya produk pangan dari luar ke dalam pasar Indonesia. Dengan jumlah penduduk lebih dari 230 juta orang, Indonesia menjadi pasar yang potensial bagi produk pangan dari luar.

4. Pelaksanaan sistem keamanan pangan yang ada masih lemah belum terpadu, lebih bersifat sektoral sehingga tidak ada kebijakan mutu dan keamanan pangan nasional yang terpadu. Akibatnya sering dirasakan adanya kewengan instansi sektoral yang tumpang tindih, fasilitas masing-masing sektor sering duplikasi dari pada saling mengisi, pelaksanaan aturan sering duplikasi dan tidak efisien, kerjasama lintas sektoral belum terjalin secara harmonis dan terpadu.

Peran Badan POM dalam Mewujudkan Keamanan Pangan Nasional

Pengawasan obat dan makanan memiliki aspek permasalahan berdimensi luas dan kompleks. Menyadari hal ini Badan POM melakukan sistem pengawasan secara komprehensif dan full spectrum yang mencakup 1) kegiatan pengaturan, regulasi dan standardisasi; 2) lisesnsi dan sertifikasi sarana industri berdasarkan cara-cara produksi yang baik; 3) evaluasi mutu, keamanan, khasiat/kemanfaatan produk sebelum diizinkan beredar di masyarakat/pre-market evaluation; post-marketing vigilance termasuk sampling produk dan pengujian laboratorium, pemeriksaan sarana produksi dan distribusi, penyidikan dan penegakan hukum; 4) pre-review dan pengawasan iklan dan label produk; 5) riset dalam rangka mendukung kebijakan pengawasan; serta komunikasi, informasi dan edukasi kepada masyarakat/konsumen.

Dalam pengawasan makanan, Badan Pengawasan Obat dan Makanan (Badan POM) melaui Deputi III Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya berperan dalam melaksanakan penilaian dan evaluasi keamanan pangan sebelum beredar dan selama peredaran seperti pengawasan terhadap sarana produksi dan distribusi maupun komoditinya, termasuk penandaan dan periklanan, dan pengamanan produk dan bahan berbahaya. Disamping itu Badan POM juga melakukan setifikasi produk pangan, pembinaan terhadap produsen dan distributor untuk menerapkan Sistem Jaminan Mutu, terutama penerapan Cara Produksi Makanan yang Baik (CPMB), Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP), Cara Distribusi Makanan yang Baik (CDMB) serta Total Quality Management. Disamping itu juga diselenggarakan surveilan, penyuluhan dan informasi keamanan pangan dan bahan berbahaya. Dalam melaksanakan tugasnya Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya mempunyai 5 direktorat yaitu 1) Direktorat Penilaian Keamanan Pangan; 2) Direktorat Standarisasi Produk; 3) Direktorat Inspeksi dan Sertifikasi Produk Pangan; 4) Direktorat Suveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan; 5) Direktorat Pengawasan Produk dan Bahan Berbahaya.

Menyadari masih banyaknya masalah dan kendala dan dalam usaha mewujudkan keamanan pangan yang baik, Badan POM di bawah koordinasi Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya telah mencanangkan penerapan Sistem Keamanan Pangan Terpadu (SKPT) di Indonesia pada tanggal 13 Mei 2004. Dengan semboyannya “Bersama-sama kita meningkatkan keamanan pangan di Indonesia”, SKPT merupakan program nasional yang terdiri dari semua stakeholder kunci yang terlibat dalam keamanan pangan mulai dari bahan baku pangan sampai pangan siap disajikan. Sistem Keamanan Pangan Terpadu merupakan sistem yang mengkombinasikan keahlian dan pengalaman pemerintah, industri, akademisi dan konsumen secara sinergis dalam menghadapi tantangan-tantangan yang mempengaruhi keamanan pangan. Model SKPT dibentuk untuk mencapai harmonisasi program keamanan pangan dan laboratorium yang berstandar internasional berdasarkan pedoman yang dikeluarkan WHO dalam Guideline for Strengthening a National Food Safety Programme.

Dalam SKPT telah dibentuk 3 jejaring berdasarkan prinsip analisis risiko yaitu :

1. Jejaring Intelijen Pangan (Food Inteligen) dengan Sekretariatnya di Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan BPOM, bertugas mengakaji risiko keamanan pangan dengan menghimpun informasi kegiatan pengkajian risiko keamanan pangan dari lembaga terkait (data suveilan, inspeksi, penelitian keamanan pangan dan lain sebagainya),

2. Jejaring Pengawasan Pangan (Food Safety Control) dengan Sekretariatnya di Direktorat Inspeksi dan Sertifikasi Produk Pangan BPOM, bertugas mengawasi keamanan pangan melalui pembentukan jejaring kerjasama antar lembaga dalam kegiatan yang terkait dengan pengawasan keamanan pangan (standarisasi dan legislasi pangan, inspeksi dan sertifikasi pangan, pengujian laboratorium, ekspor-impor dan sebagainya),

3. Jejaring Promosi Keamanan Pangan (Food Safety Promotion) Sekretariatnya di Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan BPOM, bertugas mengkomuniksikan keamanan pangan melalui pengembangan bahan promosi (poster, brosur), kegiatan pendidikan, pelatihan dan penyuluhan keamanan pangan untuk industri pangan, pengawas pangan dan konsumen.

Ke 3 jejaring yang dibentuk dalam SKPT ini diharapkan mampu memperbaiki kominikasi antar stakeholder, membagi pengetahuan dan meningkatkan keamanan pangan di tingkat lokal, regional maupun nasional. Untuk itu Tim dalam SKPT telah mengembangkan 3 program yang saling mengkait antar 3 jejaring yang ada yaitu 1) Sistem klasifikasi piagam bintang keamanan pangan (Star Award); 2) Sistem monitoring keamanan pangan terpadu (Food Watch); 3). Tim respon cepat (Rapid Response). Ke 3 program ini dikembangkan untuk mensinergiskan dan memfokuskan aktivitas keamanan pangan dan mengimplementasikan kebijakan pada tingkat nasional, regional maupun lokal.

Secara periodik Balai Besar/Balai POM di seluruh Indonesia telah melaksanakan pemeriksaan setempat terhadap sarana industri makanan. Dari hasil inspeksi yang dilakukan selama ini secara umum dapat diketahui bahwa masih banyak industri makanan kurang memperhatikan faktor higien sampah dan limbah, fasilitas pabrik dan kebersihan masih minim, fasilitas produksi belum terbebas dari binatang serangga dan lain-lain, kurangnya kebersihan terhadap peralatan serta tidak tersedianya supplai air bersih. Pada industri rumah tangga pangan selain ditemukan kekurangan seperti tersebut diatas juga diketahui bahwa pengetahuan produsen akan keamanan pangan masih kurang, sehingga tidak memperhatikan kualitas, keamanan/khasiat dari seluruh produk-produk yang dihasilkan dan diedarkannya di masyarakat.

Hasil evaluasi dalam rangka pemantauan mutu dan keamanan pangan yang dilakukan Direktorat Inspeksi dan Sertifikasi Pangan Badan POM terhadap pengujian laboratorium terhadap contoh/sampling sarana produksi dan distribusi pangan pada tahun 2004 menunjukkan terdapat 13,73% sampel yang tidak memenuhi syarat atau sebanyak 2.025 sampel. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil evaluasi Direktorat Inspeksi dan Sertifikasi Badan POM terhadap contoh/sampling sarana produksi dan distribusi tahun 2004.

Jenis & jumah

sampel

Hasil evaluasi

Total sampel

Sampel MD

Sampel ML

Sampel SP

Sampel TT

14.754

(100%)

7.825

(53,01%)

726

(4,93%)

3.657

(24,79%)

2.546

(17,27%)

Memenuhi syarat

12.729

(86,27%)

7.089

(90,59%)

643

(88,57%)

2963

(81,02%)

1.752

(68,80%)

Tidak memenuhi syarat

2.025

(13.73%)

736

(9,41%)

83

(11,43%)

694

(18,98%)

794

(31,20%)

Keterangan : MD = makanan dalam negeri; ML = makanan luar negeri; SP = sertifikat penyuluhan; TT = tidak terdaftar.

Sampel yang tidak memenuhi syarat disebabkan oleh beberapa alasan yaitu 1) menggunakan pemanis buatan tidak memenuhi syarat sebanyak 569 (28%). Sampel pada komposisi tidak dicantumkan, kadar melebihi batas maksimal yang diijinkan, tidak diperuntukan untuk jenis produk pangan tersebut; 2) menggunakan pengawet untuk pangan dengan kadar melebihi batas maksimal yang diijinkan sebanyak 168 (8,3%); 3) menggunakan formalin untuk pangan sebanyak 243 (12%); 4) menggunakan pewarna bukan untuk pangan sebanyak 437 (21,58%); mengandung cemaran mikroba melebihi batas maksimal sebanyak 174 (8,59%) dan 5) alasan lain seperti kadar, bobot tuntas, label, BTP belum diijinkan sebanyak 338 (16,69%). Terhadap produsen yang memproduksi sampel yang tidak memenuhi syarat tersebut Balai Besar/Balai POM juga telah melakukan tindakan berupa pembinaan dan peringatan, penarikan dari peredaran dan pemusnahan oleh perusahaan yang memproduksi produk pangan tersebut.

Selanjutnya dari hasil pemeriksaan oleh Balai Besar/Balai POM di seluruh Indonesia terhadap produk pangan yang beredar sejak tahun 2002-2005 masih ditemukan bahan berbahaya dalam produk pangan seperti formalin, boraks, rodamin dan kuning metanil seperti disajikan pada Tabel 2 untuk skala nasional dan Tabel 3 untuk wilayah pemeriksaan Balai Besar POM Yogyakarta.


Tabel 2. Hasil pemeriksaan bahan berbahaya dalam produk pangan di seluruh Indonesia periode 2002-2005 dan tindak lanjut hasil pemeriksaan.

Tahun

Total Sampel Produk Pangan

Temuan Bahan Berbahaya dalam Produk Pangan**)

Tindak Lanjut

Pembinaan

Peringatan

Penarikan & Pemusnahan

Pro Justitia

2002

19.078

454

235

129

219

27

2003

20.547

392

278

108

114

82

2004

32.740

1718

807

386

911

51

2005*)

26.990

935

308

217

627

6

*) Data sampai bulan November 2005; **) Bahan Berbahaya yang ditemukan meliputi formalin, boraks,rodamin B dan kuning metanil.

Tabel 3. Hasil pemeriksaan bahan berbahaya dalam produk pangan di wilayah Balai Besar POM Yogyakarta periode 2002-2005 dan tindak lanjut hasil pemeriksaan.

Tahun

Total Sampel Produk Pangan

Temuan Bahan Berbahaya dalam Produk Pangan**)

Tindak Lanjut

Pembinaan

Peringatan

Penarikan & Pemusnahan

Pro Justitia

2002

1971

75

23

-

34

-

2003

2899

119

12

-

29

-

2004

3301

63

37

2

53

-

2005*)

2808

98

36

3

46

12

*) Data sampai bulan November 2005; **) Bahan Berbahaya yang ditemukan meliputi formalin, boraks,rodamin B dan kuning metanil.

Terhadap hasil pemeriksaan yang kurang memenuhi syarat tersebut Badan POM telah dilakukan tindaklanjut berupa pembinaan, peringatan, penarikan dan pemusnahan dan tindakan pro justicia. Setiap tindak lanjut hasil pemeriksaan yang diambil diinformasikan kepada instansi terkait seperti Pemerintah daerah untuk pembinaan lebih lanjut.

Badan POM secara khusus mengembangkan program di bidang penyelidikan dan penyidikan kasus tindak pidana di bidang obat dan makanan. Badan POM secara rutin melakukan penyelidikan dan penyidikan serta secara khusus menindak lanjuti kasus pelanggaran di bidang obat dan makanan. Namun hasil yang diperoleh masih memprihatinkan adalah bahwa keputusan pengadilan yang dijatuhkan relative ringan sehingga tidak menimbulkan efek jera bagi pelaku pelanggaran. Sebagai contoh keputusan tindak pidana di bidang makanan berupa pidana dari 15 hari sampai dengan penjara 8 bulan, masa percobaan satu tahun 6 bulan atau pidana denda mulai Rp. 50.000,- sampai dengan Rp. 400.000,- subsider 15 hari.

Pelajaran dari Kasus Formalin

Salah satu sub-sistem pengawasan obat dan makanan adalah sub-sistem pengawasan masyarakat/konsumen. Dalam upaya optimalisasi sub-sistem ini maka perlu dibuka akses komunikasi dan informasi dua arah yang selebar-lebarnya. Upaya ini dikaitkan dengan kegiatan edukasi tentang obat dan makanan melalui sistem informasi Badan POM. Langkah strategis yang dilakukan adalah memberikan peringatan kepada masyarakat secara terbuka atau public warning tentang produk-produk yang tidak memenuhi syarat mutu dan keamanan atau ilegal yang beredar di masyarakat. Badan POM juga melakukan upaya untuk memeberdayakan masyarakat (community empowerment) agar memiliki kesadaran (awareness) mengenai hak dan tanggung jawabnya berkaitan dengan mutu dan keamanan produk. Diharapkan tingkat kesadaran masyarakat yang tinggi akan mendorong produsen untuk lebih berhati-hati dalam menjaga kualitas dan keamanan hasil produksinya. Apabila konsumen /masyarakat mengetahui bahwa kualitas suatu produk tidak dan atau tidak aman, maka quality image produk tersebut akan negatif di mata konsumen.

Namun demikian tidak setiap public warning yang disampaikan oleh Badan POM mendapat respon yang sesuai harapan. Salah satu contohnya adalah munculnya kasus formalin ketika Badan POM menyampaikan public warning tentang penyalahgunaan formalin untuk pengawet mie basah, tahu dan ikan. Press release yang disampaikan Badan POM ini telah menimbulkan berbagai tanggapan oleh produsen, masyarakat dan instansi terkait sepeti Departemen Kesehatan. Secara ekonomis banyak produsen makanan yang dirugikan dengan public warning tersebut, oleh karena menyebabkan penurunan penjualan produknya secara nyata oleh karena masyarakat konsumen lebih berhati-hati dalam mengkonsumsi produk makanan yang diduga mengandung formalin. Sementara antara Badan POM dengan instansi terkait belum ada satu pandangan yang sama dalam menyikapi isu formalin tersebut.

Formalin merupakan larutan komersial dengan konsentrasi 10-40% dari formaldehid. Bahan ini biasanya digunakan sebagai antiseptik, germisida, dan pengawet. Formalin mempunyai banyak nama kimia diantaranya adalah : Formol, Methylene aldehyde, Paraforin, Morbicid, Oxomethane, Polyoxymethylene glycols, Methanal, Formoform, Superlysoform, Formic aldehyde, Formalith, Tetraoxymethylene, Methyl oxide, Karsan, Trioxane, Oxymethylene dan Methylene glycol.

Formalin sangat umum digunakan dalam kehidupan sehari-hari pada berbagai sektor. Di sektor industri formalin banyak manfaatnya, seperti sebagai antibakteri dimanfaatkan untuk pembersih lantai, kapal, gudang dan pakaian, pembasmi lalat dan serangga lain. Dalam dunia fotografi digunakan untuk pengeras lapisan gelatin dan kertas. Formalin digunakan sebagai bahan pembuatan pupuk urea, parfum, pengawet produk kosmetika, pengeras kuku dan bahan untuk busa. Formalin juga dipakai sebagai pencegah korosi untuk sumur minyak. Di industri kayu digunakan sebagai bahan perekat untuk produk kayu lapis. Dalam konsentrasi yag sangat kecil (<1%)>

Formalin sebagai pengawet makanan dilarang penggunaannya berdasarkan Peraturan Meneteri Kesehatan RI No. 722/Menkes/Per/IX/88. Menurut US Environmental Protection Agency’s Integrated Risk Information System, formalin temasuk dalam kualifikasi B1 yaitu probable human carcinogen atau kemungkinan menyebabkan kanker pada manusia. Selain itu formalain dapat menimbulkan efek samping lain seperti iritasi mata, hidung, saluran pernafasan, bronkitis dan pneumonia. Pemaparan formalin secara kronis menyebabkan hipersensitivitas, asma dan dermatitis kontak. Formalin juga dilaporkan dapat menyebabkan ulcerasi, nekrosis membran mukus, hematemesis, diare, hematuria, anuria, asidosis, vertigo dan kegagalan sirkulasi. Kematian dapat terjadi jika korban terpapar formalin sebanyak 30 ml. Batas maksimum yang diperbolehkan di udara adalah 2 ppm.

Badan POM sudah lama menengarai penggunaan formalin sebagai pengawet dalam produk makanan seperti mie basah, tahu dan ikan. Hasil pengujian terhadap sampel yang diduga mengandung formalin sejak tahun 2002 oleh Balai Besar/Balai POM di Indonesia membuktikan selalu dijumpainya formalin sebagai pengawet dalam sampel seperti disajikan pada Tabel 4. Di wilayah Balai Besar POM Yogyakarta hasil pemeriksaan juga menunjukkan hasil yang sama (Tabel 5).

Tabel 4. Hasil pemeriksaan formalin dalam produk pangan di seluruh Indonesia periode 2002-2005 dan tindak lanjut hasil pemeriksaan.

Tahun

Total Sampel Uji Formalin

Temuan Produk yang Mengandung Formalin

Tindak Lanjut

Pembinaan

Peringatan

Penarikan & Pemusnahan

Pro Justitia

2002

248

139

60

36

37

6

2003

180

73

53

15

30

7

2004

786

274

176

40

53

5

2005*)

1160

177

124

50

66

- (sedang proses)

*) Data sampai bulan November 2005.



Tabel 5. Hasil pemeriksaan formalin dalam produk pangan di wilayah Balai Besar POM Yogyakarta periode 2002-2005 dan tindak lanjut hasil pemeriksaan.

Tahun

Total Sampel Uji Formalin

Temuan Produk yang Mengandung Formalin

Tindak Lanjut

Pembinaan

Peringatan

Penarikan & Pemusnahan

Pro Justitia

2002

110

42

12

-

12

-

2003

90

35

-

-

-

-

2004

32

6

-

2

-

-

2005*)

108

45

11

3

11

12

*) Data sampai bulan Desember 2005.


Dari hasil evaluasi terhadap produk pangan yang mengandung formalin menunjukkan bahwa produk pangan yang mengandung formalin yang dijumpai sebagian besar merupakan produk pangan yang dihasilkan oleh industri pangan rumah tangga yang tidak terdaftar (Tabel 6 dan 7).

Tabel 6. Temuan produk pangan yang mengandung formalin di Indonesia berdasarkan kategori pendaftaran periode 2002 – 2005.

Tahun

Temuan Produk yang mengandung Formalin

Kategori Pendaftaran

MD

SP/P-IRT

Tidak Terdaftar

2002

139

-

-

139

2003

73

-

1

72

2004

274

-

96

178

2005*)

177

-

6

171

*) Data sampai bulan November 2005; MD = produk makanan dalam negeri; SP/P-IRT = serifikasi penyuluhan oleh Dinkes Kabupaten/Kota.

Tabel 7. Temuan produk pangan yang mengandung formalin di wilayah Balai Besar POM Yogyakarta berdasarkan kategori pendaftaran periode 2002 – 2005.

Tahun

Temuan Produk yang mengandung Formalin

Kategori Pendaftaran

MD

SP/P-IRT

Tidak Terdaftar

2002

42

-

-

42

2003

35

-

-

35

2004

6

-

-

6

2005*)

45

-

-

45

*) Data sampai bulan Desemember 2005; MD = produk makanan dalam negeri; SP/P-IRT = serifikasi penyuluhan oleh Dinkes Kabupaten/Kota.

Badan POM menyadari ada kecenderungan penggunaan formalin sebagai pengawet makanan yang terus meningkat. Badan POM juga telah melakukan pembinaan dan peringatan serta tindakan pro-justisia dengan mengajukan produsen ke pengadilan. Sanksi hukum pidana juga sudah diberikan terhadap para produsen tetapi juga tidak memberikan efek jera, sementara pasokan formalin di pasaran terutama penjualan eceran dilaporkan memicu terjadinya penyalahgunaan. Untuk itu, pada awal Desember 2005 Badan POM melakukan pengujian laboratorium secara serial dan serentak di Bandar Lampung, Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Mataram dan Makasar terhadap 761 sampel mie basah, tahu dan ikan yang diduga mengandung formalain. Hasil pengujian menunjukkan bahwa masih dijumpai penggunaan formalin dalam ke 3 produk makanan tersebut seperti disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8. Hasil pengujian mie basah, tahu dan ikan di berbagai wilayah Balai Besar POM di Indonesia terhadap kandungan formalin pada awal Desember 2005.

Hasil evaluasi

Mie basah

Tahu

Ikan

Jumlah sampel

213

290

258

Memenuhi syarat

76

193

190

Tidak memenuhi syarat

137

97

68

% tidak memenuhi syarat

64,32%

33,45%

26,36%

Kondisi masing-masing daerah tidak sama untuk setiap produk yang diuji tersebut. Untuk tahu, temuan Balai Besar POM di Yogyakarta dan Bandung tidak mengandung formalin, sedangkan di Jakarta relatif sangat tinggi mencapai 77,85% mengandung formalin. Untuk ikan, temuan Badan POM di Jakarta 52,63% dan Bandar Lampung 36,56% dari sampel ikan mengandung formalin. Untuk mie basah, persentase sampel yang mengandung formalin diatas 60% kecuali Makasar hanya skitar 6,45%.

Hasil pengujian inilah yang menjadi dasar Badan POM memberikan public warning. Hasilnya seperti telah kita ketahui bersama public warning ini ditanggapi secara beragam oleh stakeholder yang terkait dengan keamanan pangan sehingga menjadi isu nasional yang hangat dan mendapat banyak perhatian akhir-akhir ini. Namun di sisi lain kasus ini memberikan pelajaran dan menyadarkan semua stakeholder baik pemerintah, produsen maupun konsumen akan pentingnya sistem keamanan pangan. Hal ini nampak dari berbagai reaksi yang muncul dari berbagai stakeholder dapat dilihat misalnya :

1. Masyarakat sebagai konsumen menyadari tentang pentingnya keamanan pangan yang dikonsumsi. Masyarakat berlomba-lomba ingin mendapatkan informasi secara lebih komprehensif tentang risiko penggunaan formalin bagi kesehatan manusia. Berbagai ceramah mengenai formalin diselenggarakan secara mandiri oleh kelompok masyarakat misalnya di tingkat RT, Darma Wanita, sekolah dan kelompok masyarakat lainnya, sementara media masa banyak memuat informasi formalin yang ditulis oleh para ahli.

2. Kegiatan seminar mengenai formalin diselenggarakan oleh berbagai institusi pendidikan tinggi dengan menghadirkan para pakar dari berbagai perguruan tinggi, para praktisi dari birokrasi, produsen dan masyarakat untuk mencari jalan keluar dari kasus formalin. Berbagai rekomendasi telah dihasilkan di akhir seminar yang pada intinya mendorong pemerintah untuk mewujudkan sistem keamanan pangan yang baik dengan mewujudkan produk pangan yang bebas dari bahan berbahaya khususnya formalin melalui pengaturan tataniaga formalin, pendidikan keamanan pangan konsumen, pembinaan industri pangan dan menyediakan fasilitas untuk mewujudkan sistem keamanan pangan yang baik.

3. Produsen produk pangan yang tidak menggunakan formalin sebagai pengawet dalam produknya berusaha meyakinkan konsumen bahwa produknya bebas formalin. Untuk meyakinkan konsumen produsen mengajukan permohonan sertifikat bebas konsuemen ke Balai Besar/Balai POM yang ada di wilayahnya. Sementara produsen yang masih menggunakan formalin berusaha untuk tidak lagi menggunakannya untuk pengawet produknya.

4. Badan POM sendiri menyikapi reaksi dari stakeholder akibat public warning yang disampaikan dengan cepat. Melalui Direktorat Inspeksi dan Sertifikasi Produk Pangan secara serentak melakukan sampling dan pengujian produk pangan yang diduga mengandung formalin setelah mencuatnya kasus ini dan hasilnya menunjukkan terjadinya penurunan penggunaan formalin. Direktorat Suveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan mengadakan berbagai workshop dengan tujuan untuk meningkatkan keamanan pangan di Indonesia.

5. Balai Besar/Balai POM di seluruh Indonesia, dalam rangka pembinaan usaha/industri kecil/industri rumah tangga di bidang pangan, mengundang Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dalam rangka pemberian sertifikat/keterangan makanan bebas formalin. Sertifikat/keterangan makanan bebas formalin ini nantinya akan dikeluarkan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota setelah dilakukan pemeriksaan secara cermat bahwa produsen yang bersangkutan memang tidak menggunakan formalin dalam makanan yang diproduksi.

Kepentingan Sistem Informasi Keamanan Pangan Terpadu

Penerapan SKPT di Indonesia hanya akan berhasil bila dilaksanakan dalam kemitraan penuh berbagai stakeholder yang terkait dengan keamanan pangan. Berbagai stakeholder dari ke 3 jejaring dalam SKPT yang dibentuk seperti Badan POM, Departemen Kesehatan, Departemen Lingkungan Hidup, Universitas, Pemerintah Daerah, Departemen Pertanian, Depatemen Perindustrian dan Perdagangan, Bea Cukai, Departemen Pendidikan Nasional, LSM, Asosiasi Konsumen, Industri harus saling saling bekerjasama dalam suatu kemitraan. Kemitraan yang harmonis memerlukan dukungan informasi yang “everybody informs and is informed everything easlily”. Di era teknologi digital saat ini, sumber informasi yang berkaitan dengan keamanan pangan dari masing-masing stakeholder tersebut tidak akan mampu terkelola (unmanageable) oleh metode berbasis kertas (paper-based methods). Kemudahan dalam pengelolaan informasi tersebut hanya bisa dicapai bila dikemas dalam sistem elektornik dalam suatu jaringan. Dengan katan lain pembentukan sistem informasi berbabis web untuk mewujudkan SKPT di Indonesia sangat mutlak diperlukan.

Sistem informasi secara umum didefinisikan sebagai sistem dalam suatu organisasi yang merupakan kombinasi dari orang-orang, fasilitas, teknologi, media, prosedur-prosedur dan pengendalian untuk mendapatkan jalur komunikasi penting, memproses tipe transaksi rutin tertentu, memberi sinyal kepada manajemen dan yang lainnya terhadap kejadian-kejadian internal dan eksternal yang penting dan menyediakan suatu dasar informasi untuk pengambilan keputusan. Dalam kaitannya dengan keamanan pangan maka dapat digunakan istilah Sistem Informasi Keamanan Pangan Terpadu (SIKPT) yang dapat diterjemahkan sebagai informasi mengenai berbagai hal terkait dengan keamanan pangan yang dikemas dalam bentuk kerjasama antara Pusat Infomasi dari stakeholder dalam SKPT untuk mengelola data/informasi yang dimiliki sehingga dapat digunakan secara efektif dan efesien oleh para pengambil keputusan, pengelola program, peneliti, penyuluh dan masyarakat umum.

Setiap stakeholder kemungkinan telah membangun/memiliki pusat informasi. Namun demikian perlu disadari bahwa sistem informasi yang ada pada masing-masing stakeholder kemungkinan berbeda dalam konsep, pengelolaan dan pemanfaatanya, sehingga masih merupakan sistem informasi yang berdiri sendiri-sendiri, belum merupakan sistem informasi yang terpadu/terintegrasi. Pengintegrasian antara berbagai pusat informasi tersebut penting dilakukan untuk memberikan informasi yang efektif dan efisien bagi proses pengambilan keputusan bagi setiap stakeholder di semua jenjang. Pengintegrasian lebih merupakan pengembangan, pembagian tugas, tanggung jawab dan otoritas serta mekanisme saling hubung. Pengertian integrasi bukan dimaksudkan untuk mematikan/menyatukan semua sistem informasi yang sudah ada, tetapi yang disatukan hanyalah sistem-sistem informasi yang lebih efisien apabila digabung. Dengan integrasi ini diharapkan semua sistem informasi yang ada akan bekerja secara terpadu dan sinergis membentuk SIKPT.

Pengembangan sistem informasi yang terpadu diawali dengan penyusunan kerangka konseptual oleh semua stakeholder yang terlibat dalam SKPT, kemudian dilanjutkan dengan pengembangan blue print untuk skala nasional dan pengembangannya oleh masing-masing stakeholder dalam SKPT. Dengan demikian, penyusunan sistem informasi keamanan pangan yang terintegrasi ini dapat dipahami dan dimanfaatkan oleh semua stakeholder. Dalam prekteknya pengembangan SIKPT dimulai dari pengembangan bankdata tempat data dihimpun, diatur dalam database keamanan pangan yang berstruktur sesuai dengan kaidah-kaidah informatika untuk dapat digunakan setiap saat dalam upaya menghasilkan informasi. Bentuk fisik bank data tersebut adalah jaringan komputer dengan kelengkapannya yang berisi database/informasi yang dapat di akses oleh setiap stakeholder yang terkait dengan keamanan pangan. Adanya bankdata tidak menjamin akan mutu informasi yang dihasilkan menjadi baik apabila data yang dimasukkan tidak berkualitas. Namun dengan adanya bankdata akan meningkatkan mutu sistem informasi, dengan meningkatkan seluruh komponen sistem yaitu : data, manusia, prosedur, software dan hardware.

SIMPULAN

Dari uraian di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan :

1. Keamanan pangan merupakan kebutuhan dasar yang sangat penting untuk mendukung tercapainya pembangunan sumber daya manusia Indonesia. Sistem keamanan yang baik akan meningkatkan derajad kesehatan masyarakat yang pada gilirannya akan menghasilkan sumberdaya manusia yang handal.

2. Perhatian pemerintah besar dalam mewujudkan sistem keamanan pangan yang baik sangat besar. Badan POM sebagai lembaga pemerintah yang bertanggung jawab terhadap pengawasan obat dan makanan telah mencanangkan Sistem Keamanan Pangan Terpadu (SKPT) di Indonesia dengan 3 jejaring yang berhasil diidentifikasi berdasarkan prinsip analisis risiko yaitu Jejaring Intelijen Pangan (Food Inteligen), dan Jejaring Pengawasan Pangan (Food Safety Control) dan Jejaring Promosi Keamanan Pangan (Food Safety Promotion).

3. Kasu formalin memberikan pelajaran bagi semua stakeholder dalam SKPT akan pentingnya keamanan pangan yang baik.

4. Pembentukan Sistem Informasi Keamanan Pangan Terpadu (SIKPT) sangat penting untuk mengintegrasikan sistem informasi yang dimiliki setiap stakeholder yang terlibat dalam keamanan pangan.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Anonim. 2004. Pencangan Penerapan Sistem Keamanan Pangan Terpadu Di Indonesia, Buletin Keamanan Pangan Badan POM RI, 5(III): 10.

Anonim. 2005. Informasi Evaluasi Hasil Sampling Dan Pengujian Pangan 2004, Buletin Keamanan Pangan Badan POM RI, 7(IV): 9.

Badan POM RI. 2002. Independensi Dan Otonomi Badan POM RI Sebagai Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) Dalam Pelaksanaan Pengawasan Obat Dan Makanan Serta Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun 2003 Program Pengawasan Obata dan Makanan, Badan Pengawas Obat dan Makanan, Republik Indonesia, Jakarta.

Badan POM RI. 2002. Sinkronisasi Regulasi Di Bidang Pengawasan Obat dan Makanan Pada Institusi Terkait Dan Hubungannya Dengan Kebijakan Otonomi Daerah Di Indonesia Dan Tantangan Dan Peluang Badan POM RI Dalam Pengawasan Obat Dan Makanan Pasca Kebijakan POM RI Sebagai Lembaga Pemerintah Non Departemen, Badan Pengawas Obat dan Makanan, Republik Indonesia, Jakarta.

Badan POM RI. 2004. Peranan Badan POM RI Dalam Perlindungan Masyarakat Dan Pengawasan Industri Obat Dan Makanan, Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia, Jakarta.

Argadiredja, A. 2004. Sistem Informasi Kesehatan Nasional Dan Pengembangan Bank Data Kesehatan. Seminar Sistem Informasi Kesehatan dan Pengembangan Bankdata Kesehatan Kabupaten/Kota, Jakarta 24 Agustus 2004.

Departemen Pertanian. 2003. Pedoman Umum Pencegahan Dan Penanggulangan Masalah Pangan, Pusat Kewaspadaan Pangan, Badan Bimas Ketahanan Pangan, Departemen Pertanian, Jakarta.

Hariyadi, P. 2003. Membangun sistem keamanan pangan terpadu. Lokakarya Nasional Penyuluhan Keamanan Pangan, Badan Pengawasan Obat dan Makanan, Republik Indonesia, Jakarta, 8 April 2003.

Kusnanto, H., Fuad, A., Riyarto, S. 2005. Sistem Informasi dan Sumber Intelijen Kesehatan Masyarakat. Materi Kuliah Ilmu Kesehatan Masyarakat Sesi 5.

Tidak ada komentar: